Di era digital yang serba cepat ini, banyak dari kita mengira bahwa perkembangan teknologi membawa kemajuan dalam cara manusia berinteraksi. Namun, di sisi lain, muncul fenomena yang diam-diam merenggut ketenangan dan masa depan generasi muda seperti dampak bullying. Di sekolah, kampus, bahkan tempat kerja, praktik ini masih saja terjadi — seolah menjadi bayang-bayang gelap dari dunia sosial yang belum sepenuhnya dewasa.
Kasus terbaru yang mencuat ke publik, yakni dugaan perundungan terhadap Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Universitas Udayana, kembali membuka luka lama bangsa ini. Timothy ditemukan meninggal dunia setelah diduga mengalami tekanan sosial dan ejekan dari lingkungan sekitarnya.
Apakah benar ia menjadi korban bullying? Polisi masih menyelidikinya. Namun terlepas dari simpulan akhir, peristiwa ini menyadarkan kita akan betapa besar dampak bullying terhadap fisik dan mental seseorang.
Bullying: Luka yang Tak Hanya di Kulit, tapi di Jiwa
Kata “bullying” sering dianggap sepele, disebut sekadar ejekan, candaan, atau tradisi senioritas yang sudah lama ada. Padahal, di balik tawa pelaku, ada air mata yang tak terlihat. Dampak bullying bukan hanya berupa luka lebam di tubuh, tetapi juga luka batin yang bisa menetap seumur hidup.
Korban bullying kerap mengalami tekanan luar biasa. Secara fisik, mereka bisa menderita luka akibat kekerasan, gangguan tidur, atau sakit yang disebabkan oleh stres berlebih. Beberapa bahkan kehilangan nafsu makan dan mengalami kelelahan kronis. Namun yang lebih berbahaya justru efek psikologisnya yang timbul seperti depresi, kecemasan, rasa takut, hingga keinginan untuk mengakhiri hidup.
Penelitian dari National Center for Educational Statistics (2023) menyebutkan bahwa lebih dari 20% siswa di dunia mengalami perundungan setiap tahun. Di Indonesia, angka ini mungkin lebih tinggi karena banyak korban memilih diam. Mereka takut disalahkan, takut dianggap lemah, atau justru takut tidak dipercaya. Di sinilah dampak bullying menjadi sangat berbahaya: ia menciptakan lingkaran diam di mana korban kehilangan suara.
Kasus Timothy dan Luka Sosial yang Lebih Dalam
Kisah Timothy Anugerah Saputra mengguncang banyak orang bukan hanya karena tragedi yang menimpa dirinya, tapi juga karena ia mencerminkan kenyataan yang sering diabaikan: bahwa bullying bisa terjadi di mana saja, bahkan di lingkungan akademis yang seharusnya menjadi ruang aman.
Dari berbagai laporan media, Timothy dikenal sebagai mahasiswa cerdas, aktif, dan berintegritas. Namun di balik itu, tersimpan tekanan sosial yang berat. Beberapa tangkapan layar grup pertemanan menunjukkan adanya ejekan dan candaan yang menyinggung dirinya. Sebagian menyebut itu hanya lelucon, tapi bagi korban, “candaan” bisa menjadi pisau yang tak terlihat.
Inilah yang disebut dampak bullying secara sosial — ketika lingkungan gagal memahami batas antara bercanda dan menyakiti. Ketika norma-norma empati terkikis oleh budaya “asal lucu” atau “biasa aja, jangan baper.” Dalam kasus Timothy, dugaan perundungan itu berujung pada kehilangan nyawa, meninggalkan pertanyaan besar: apakah kita sudah cukup peka terhadap penderitaan orang lain?
Baca Juga: Cara Menghilangkan Stress dan Cemas untuk Ketenangan Pikiran
Dampak Bullying Secara Fisik
Secara medis, stres akibat perundungan dapat memicu perubahan biologis yang signifikan. Hormon kortisol meningkat, detak jantung lebih cepat, tekanan darah naik, dan sistem imun menurun. Anak atau remaja yang terus-menerus menjadi korban bullying sering mengalami nyeri kepala, sakit perut, atau gangguan tidur tanpa sebab jelas.
Jika terus dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang menjadi gangguan psikosomatik, di mana tubuh mengekspresikan stres dalam bentuk penyakit fisik. Dengan kata lain, dampak bullying bisa menembus batas tubuh — membuat seseorang sakit, lemah, bahkan trauma terhadap lingkungan tertentu.
Dampak Bullying Secara Mental dan Emosional
Dampak yang paling dalam dari bullying adalah pada ranah mental dan emosional. Korban merasa terisolasi, tidak berharga, bahkan mulai mempercayai kata-kata pelaku. Kalimat seperti “kamu bodoh,” “kamu nggak pantas di sini,” atau “kamu cuma bercanda aja kan?” — jika diulang terus, bisa merusak konsep diri seseorang.
Psikolog klinis menjelaskan bahwa dampak bullying terhadap kepribadian dapat menciptakan trauma jangka panjang. Korban bisa tumbuh menjadi orang yang sulit percaya pada orang lain, mudah cemas, dan takut mengambil keputusan. Beberapa bahkan mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), yaitu kondisi di mana kenangan tentang bullying muncul kembali dalam mimpi atau situasi tertentu.
Lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit korban yang menyalahkan diri sendiri. Mereka berpikir, “Mungkin memang salahku,” atau “Aku memang pantas diperlakukan begitu.” Pikiran seperti ini bisa menjerumuskan korban pada depresi berat. Dalam kasus ekstrem, seperti Timothy, tekanan sosial dan perasaan tidak diterima bisa mendorong seseorang melakukan tindakan nekat.
Baca Juga: Cara Berpikir Positif, Jalani Hidup Lebih Bahagia dan Tenang
Mengapa Bullying Masih Terjadi?
Kita sering bertanya-tanya, mengapa perilaku seburuk itu masih terus terjadi, bahkan di kalangan orang terdidik? Jawabannya kompleks. Ada faktor lingkungan, budaya, dan psikologis yang saling berkait.
Pertama, banyak masyarakat masih menganggap bullying sebagai hal “biasa”. Istilah “hanya bercanda” menjadi tameng yang sering digunakan untuk menutupi kekerasan verbal. Kedua, adanya budaya senioritas — terutama di kampus atau organisasi — membuat bullying seolah menjadi ritual “pendewasaan”. Ketiga, media sosial memperparah keadaan dengan kemudahan menyebarkan komentar jahat atau meme yang merendahkan orang lain.
Inilah mengapa dampak bullying begitu luas: ia tumbuh di lingkungan yang tidak sadar akan kesalahannya. Padahal, setiap kata, setiap komentar, setiap tawa — bisa menjadi alat kekerasan bila tidak dibarengi empati.
Lingkungan Aman: Tanggung Jawab Bersama
Untuk menghentikan rantai ini, diperlukan kesadaran kolektif. Institusi pendidikan harus tegas membuat kebijakan anti-bullying yang disertai sistem pelaporan yang aman bagi korban. Guru, dosen, dan pengurus organisasi wajib diberi pelatihan untuk mengenali tanda-tanda perundungan, baik fisik maupun psikologis.
Selain itu, orang tua juga punya peran besar. Mereka perlu menciptakan ruang aman di rumah — ruang di mana anak bisa bercerita tanpa takut disalahkan. Karena sering kali, korban bullying memilih diam bukan karena tidak ingin bicara, tapi karena tidak tahu harus bicara kepada siapa.
Masyarakat pun perlu belajar bahwa empati bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Menegur pelaku, mendukung korban, atau sekadar mendengarkan dengan tulus bisa menyelamatkan seseorang dari jurang keputusasaan. Begitulah cara kita melawan dampak bullying: dengan tidak membiarkannya menjadi kebiasaan.
Baca Juga: Cara Meningkatkan Keterampilan Komunikasi agar Lebih Percaya Diri
Belajar dari Kasus Timothy: Jangan Tunggu Ada Korban Lagi
Kisah Timothy bukan sekadar tragedi individu, tetapi cermin bagi kita semua. Cermin bahwa sistem sosial kita masih rapuh dalam menjaga kesehatan mental warganya. Bahwa kita masih mudah menertawakan penderitaan orang lain, masih mudah menuding tanpa memahami.
Namun dari setiap tragedi, selalu ada pelajaran. Semoga kasus Timothy menjadi pengingat bahwa setiap manusia berhak merasa aman dan dihormati, apapun latar belakangnya. Bahwa kata-kata bisa membangun, tapi juga bisa menghancurkan. Dan bahwa tindakan kecil kita hari ini — seperti membela yang dibully atau menolak ikut menertawakan — bisa menjadi perbedaan besar di hidup seseorang.
Empati sebagai Jalan Pemulihan
Kita hidup di dunia yang saling terhubung, tetapi sering kali merasa terasing. Di tengah gempuran informasi dan tekanan sosial, kita membutuhkan lebih banyak empati. Dampak bullying bukan hanya urusan korban, melainkan luka kolektif masyarakat yang kehilangan rasa peduli.
Mencegah bullying berarti menumbuhkan kemanusiaan. Itu dimulai dari kesadaran bahwa setiap orang memiliki nilai yang tak bisa ditawar. Mulai hari ini, marilah kita belajar melihat dengan hati — bukan hanya dengan mata. Karena sering kali, luka paling dalam justru yang tidak terlihat.
Referensi:
- Baek, S., & Bullock, L. M. (2020). Bullying and Victimization among Students with Disabilities in Inclusive Settings: A Systematic Review. International Journal of Emotional Education, 12(2), 67–84.
- Copeland, W. E., Wolke, D., Angold, A., & Costello, E. J. (2013). Adult Psychiatric Outcomes of Bullying and Being Bullied by Peers in Childhood and Adolescence. JAMA Psychiatry, 70(4), 419–426.
- Modecki, K. L., Minchin, J., Harbaugh, A. G., Guerra, N. G., & Runions, K. C. (2014). Bullying Prevalence across Contexts: A Meta-analysis Measuring Cyber and Traditional Bullying. Journal of Adolescent Health, 55(5), 602–611.
- National Center for Educational Statistics. (2023). Student Reports of Bullying: Results from the 2023 School Crime Supplement. Washington, DC: U.S. Department of Education.
- Olweus, D. (2013). School Bullying: Development and Some Important Challenges. Annual Review of Clinical Psychology, 9(1), 751–780.
- Sutin, A. R., & Terracciano, A. (2018). Bullying Victimization and Personality Change in Adulthood. Psychological Science, 29(1), 135–143.
- BBC News Indonesia. (2024, Mei 17). Fenomena Bullying di Sekolah Indonesia: Mengapa Anak Masih Takut Melapor? Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia
- CNN Indonesia. (2025, Oktober 21). Kasus Timothy Buka Lagi Luka Lama: Bullying Masih Jadi Masalah Serius di Kampus. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/
- Detik.com. (2025, Oktober 20). Kronologi Dugaan Kasus Bullying terhadap Mahasiswa Udayana hingga Tewas. Retrieved from https://www.detik.com/
- Kompas.com. (2025, Oktober 20). Kasus Dugaan Perundungan Mahasiswa Universitas Udayana Timothy Anugerah Saputra Diselidiki Polisi. Retrieved from https://www.kompas.com/
- The Conversation Indonesia. (2023, November 12). Dampak Bullying terhadap Kesehatan Mental Anak: Apa yang Bisa Dilakukan Sekolah dan Orang Tua. Retrieved from https://theconversation.com/id